Hari - hari membakar habis diriku.Setiap kali aku ingin mengumpulkan tumpukan abuku sendiri,jari - jariku berubah jadi badai angin.
Aku benci berada diantara orang - orang yang bahagia.Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata - kata mereka tidak mengatakan apa - apa.Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik - baik saja.Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.
Pusi Galeh membawa kita ke wilayah pantulan-pantulan historisisme: imajinasi sebagai jembatan untuk mengalami gelembung waktu dan sejarah yang purna-manusia.Tetapi bahasa belum terguncang oleh prosedur pengada digital dimana algoritma akan mengguncang bentuk-bentuk penciptaan, termasuk puisi, yang pernah menjadi bagian dari pengada digital dimana algoritma akan mengguncang bentuk-bentuk pencipt…
Saya sadar, menggubah puisi itu meulai menulis, menyunting, menerbitkan, hingga menjualnya harus melalui tahapan yang panjang dan rumit.Namun, hal itu tetap saya lakukan dengan pertimbangan bahwa puisi merupakan himpunan gagasan yang paling orisinal diantara genre tulisan lain yang pernah saya tulis.Setiap penyair butuh proses panjang untuk menghasilkan puisi.
Beasiswa unggulan dari Kemendikbud RI dan fasilitas teknis dari Komite Buku Nasional (KBN) menjadi ihwal, sehingga residensi penulis dua bulan di Belanda adalah berkah bagi saya.Di Negeri kincir angin itu saya tak semata melakukan riset dan napak tilas jejak Raden Saleh sebagai peranti untuk menyelesaikan sebuah novel berlatar sejarah yang saya tulis bersama Iksaka Banu,melainkan juga mengeruk …
Bulu matamu: padang ilalang.Di tengahnya sebuah sendang.Kata sebuah dongeng.Dulu ada seorang musafir datang bertapa untuk membuktikan apakah benar wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang.Ia tak percaya.Maka ia menyelam.Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus maha dalam.Arwahnya menjelma pusaran air berwarna hitam.
Sedari bulan tiga. Aku pulang ke rumah. Meremas cemas dan resah. Melangitkan doa. 12 tanggalnya. Bulan kelima. Ibu mertua kembali pulang ke haribaan-Nya. 12 tanggalnya. Ketujuh bulannya. Ibuku tercinta pun kembali pulang ke haribaan-Nya. Runtuh langit. Terbelah tanah. Segala sakit. Mencekik air darah.
Puisi-puisi dalam buku ini berutang kepada sebuah perjalanan sentimental dari Mojekerto menuju Bandung pada awal Oktober 2015.Puisi-puisi dalam buku ini berutang kepada cerita -cerita lisan yang barangkali tak bakal termaktub dalam buku sejarah resmi.Cerita-cerita itu, yang kadang sama ajaibnya dengan cerita-cerita dalam babad, dituturkan di sembarang waktu.
Bakdi Soemanto sebagai seorang budayawan, penyair, sekaligus akademisi, berhasil mengelaborasikan kompleksitas dirinya itu kedalam puisi-puisi yang kontemplatif.Puisi-puisinya dimuat di Horison,Basis, dan harian Keadaulatan Rakyat.Puisinya di terbitkan dalam buku kumpulan puisi kompilasi Tonggak dan Tugu.